Perang Dagang, Sritex Bakal Dapat Klien Besar dari AS Rp 14 T
Jakarta, CNBC Indonesia – Kecamuk perang dagang antara AS-China yang masih berlanjut memicu perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia masuk dalam rantai pasokan global (supply chain) dan berpotensi meraup keuntungan dari ekses perang dagang mencapai lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun (asumsi kurs Rp 14.100/US$).
Salah satu perusahaan TPT tersebut ialah emiten asal Sukoharjo, Jawa Tengah yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Manajemen emiten yang didirikan pada 1966 oleh almarhum H.M. Lukminto ini menegaskan kian banyak menerima pesanan dari beberapa brand besar mode dunia yang ingin mendiversifikasi pemasok garmen mereka jauh dari China.
SRIL sebelumnya memang sudah membuat pakaian untuk beberapa brand besar di antaranya J.C. Penney Co., Guess? Inc., Walmart Inc. dan merek-merek besar lain seperti H&M.
“Salah satu pemain terbesar di AS ingin memindahkan [pemasoknya] secara besar-besaran. [Potensi nilainya] hampir mendekati US$ 1 miliar,” kata CEO Sritex Iwan Setiawan Lukminto dalam sebuah wawancara dilansir Bloomberg, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (2/10/2019).
Namun, Iwan menolak memberikan detailnya mengingat masih bersifat tertutup.
Dia mengatakan tekstil Indonesia berharap bisa mendapatkan berkah dari ketegangan perdagangan yang meningkat antara AS-China itu. Perang dagang juga memaksa perusahaan global mulai menitikberatkan produksi mereka di luar China, yang selama beberapa dekade ini menjadi lokasi utama.
Menurut Iwan, saat ini sejumlah perusahaan juga berusaha keras mengamankan jalur pasokan (supply chain) mereka dari lokasi lain seperti Taiwan, Vietnam, dan Bangladesh untuk mengurangi tarif pada barang-barang yang terikat di AS, tetapi Indonesia sejauh ini masih tertinggal karena birokrasi dan hambatan lain, seperti hukum perburuhan yang kaku.
Iwan mengatakan, jumlah permintaan pasokan telah melonjak sejak tahun lalu, setelah Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif lebih tinggi untuk barang-barang yang diproduksi di China.
“Itu kemudian meledak [permintaan],” katanya. “Pelanggan mencari siapa yang siap untuk bisnis itu [pemasok tekstil] dan siapa yang bisa menggantikan China,” katanya lagi.
Dia mengatakan pasar AS sekarang menyumbang sekitar 13,6% dari ekspor Sritex, naik sekitar 3% setahun yang lalu. Iwan berencana meningkatkan kapasitas produksi perusahaan hingga seperlima pada tahun depan untuk memenuhi permintaan yang meningkat.
Potensi bisnis yang diperoleh SRIL ini menjadi berita baik mengingat Indonesia mengalami penurunan ekspor selama 10 bulan berturut-turut pada Agustus lalu, sementara pemerintah telah mengurangi proyeksi pertumbuhan tahun ini menjadi 5,1% dari 5,3%.
Laporan Bank Dunia mengungkapkan pada 2018 dari 33 pabrik China yang relokasi ke luar China, sebanyak 23 pabrik relokasi ke Vietnam, sisanya ke Malaysia, Meksiko, dan lainnya. Sedangkan Indonesia satupun tak dilirik oleh investor China.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mampu menyembunyikan kekecewaannya terhadap persoalan klasik yang selama ini belum bisa diselesaikan Indonesia. Masalah tersebut yakni regulasi investasi.
“Setelah dilihat lebih detail lagi kalau mau pindah ke Vietnam hanya butuh waktu 2 bulan rampung. Kita bisa bertahun-tahun. Penyebabnya hanya itu. Enggak ada yang lain,” kata Jokowi di hadapan para Menteri, awal September lalu.
Di sisi lain, potensi bisnis SRIL ini menjadi kabar baik mengingat industri tekstil Tanah Air memang tertekan sepanjang tahun ini karena dilanda arus impor di sektor produk hulu dan meningkatnya persaingan untuk pasar ekspor, di mana hal ini berujung pada pemberhentian karyawan massal dan penutupan pabrik.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat 9 pabrik tekstil tutup akibat kalah bersaing dengan produk impor dalam kurun waktu 2018-2019.
Pada perdagangan sesi I, Rabu ini, saham SRIL stagnan di level Rp 314/saham dengan kapitalisasi pasar Rp 6,42 triliun.